Salah satu orang tua siswa kelas IV b sedang berbicara dengan salah satu guru SD Negeri 1 Manggar |
Menyaksikan pemotongan hewan kurban |
Hewan Kurban seekor sapi hasil pengumpulan infak siswa |
Para siswa berkumpul ditenda menyaksikan penyembelihan kurban |
Para siswa melantunkan takbiran mengiringi penyembelihan hewan kurban |
Guru PAI bersama siswa melantunkan takbiran mengiring penyembelihan hewan kurban |
Ketua DPRD Belitung Timur Drs. Jafri menghadiri penyembelihan hewan kurban |
Para tamu menyaksikan penyembelihan hewan kurban |
Pembacaan do'a yang dipimpin oleh tokoh agama H. Syeh agung |
Kepala Sekolah memberikan kata sambutan tanda dimulainya penyembelihan kurban |
Hewan kurban akan disembelih oleh seksi penyembelih hewan kurban |
Hewan kurban selesai disembelih oleh seksi penyembelihan |
Sadi Suharto memberikan penjelasan kepada siswa tentang manfaat daging kurban |
Daging kurban mulai untuk potong-potong |
Aktifitas tim penyembelih hewan kurban dengan sigap membersihkan daging kurban |
Fhoto bersama setelah selesai kegiatan dari kiri ke kanan Sadi Suharto, Susti, Siti Rokayah, Efita Rostinah, Hervina M.Naibaho, Rosanah, dan Ida Rostinah |
Kesibukan terlihat saat menimbang dan membungkus daging kurban |
Daging kurban siap untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya |
Kepala SD Negeri 1 Manggar Bahya, S.Pd SD (Penanggung Jawab Kegiatan) |
"Hasil Infak Untuk Pembelihan Hewan Kurban di SD Negeri 1 Manggar"
Penyembelihan hewan kurban di SD Negeri 1 Manggar sudah dilaksanakan 5 tahun secara berturut-turut. Pembelian hewan kurban ini adalah hasil infak siswa yang dikumpulkan setiap hari jum'at. selain untuk membeli hewan kurban, hasil infak juga untuk membantu keluarga besar SD Negeri 1 Manggar yang tertimpa musibah. Daging kurban yang terkumpul 120 kg yang akan dibagikan kepada 70 orang yang berhak menerimanya.
Infak siswa ini adalah salah satu program Guru Pendidikan Agama Islam, dengan infak mengajarkan siswa untuk saling berbagi dan merasakan kekurangan satu sama lainnya. membantu teman yang sedang tertimpa musibah dan disamping itu ikut berkorban dengan menyisihkan sebagian uang jajan mereka. Nilai-nilai ini jelas berhubungan dengan pengorbanan Nabi Ismail AS, yang mengikhlaskan untuk disembelih oleh ayahnya Nabi Ibrahim AS hanya semata-mata mengharap ridho Allah SWT melalui mimpi.
Serlanjutnya mudah-mudahan kegiatan yang kami laksanakan ini menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah yang lain terutama sekolah yang ada di Kabupaten Belitung Timur.
Penyembelihan hewan kurban ini dilaksanakan pada
Hari/Tanggal : Rabu,16 Oktober 2013
Pukul : 09.00 s.d selesai
Tempat : Halaman SD Negeri 1 Manggar
Kegiatan ini dihadiri oleh:
Penyembelihan hewan kurban ini dilaksanakan pada
Hari/Tanggal : Rabu,16 Oktober 2013
Pukul : 09.00 s.d selesai
Tempat : Halaman SD Negeri 1 Manggar
Kegiatan ini dihadiri oleh:
- Drs. Jafri (Ketua DPRD Kabupaten Belitung Timur),
- Muksin Idip, S.Pd SD (Kepala UPTD TK/SD Kec. Manggar)
- Wasidah Sidik, S.Pd SD (Pengawas Gugus I kec. Manggar)
- Orang tua/wali murid
Panitia Pelaksana Penyembelihan Hewan Qurban
SD Negeri 1 Manggar
Tahun 2013
Pelindung/Penasehat : 1. Kepala Dinas Pendidikan Kab. Belitung Timur
2. Kabid TK/SD Dinas Pendidikan Kab. Belitung Timur
3. Kepala UPTD TK/SD Kec. Manggar
Penanggung jawab ; 1. Kepala SD Negeri 1 Manggar
2. Ketua Komite SD Negeri 1 Manggar
Pelaksana :
Ketua : Sadi Suharto, S.Ag
Wakil ketua : Prihatiningsih, S.Pd SD
Sekretaris : Supriani Sembiring, A.Md
Bendahara : Ida Nurtiya, S.Pd SD
Seksi- seksi
Seksi Pemotong Qurban : Sarifi dkk
Seksi Penimbangan dan Pembagian : Ketua : Mardiyanto Subagio, S.Pd
Anggota : 1. Jum'ati, S.Pd SD
2. Daniel, S.Pd
3. Astimin, S.Pd SD
4. Dino harlis
5. Susti, S.Pd SD
6. Sugiyono, S.Pd SD
7. Umi Lestari, S.Pd
8. Marlinda
9. Yulian Pratama, A.md
10. Budi Haryanto, HK
Seksi Konsumsi : Ketua : Suhai
Anggota ; 1. Siti Rokayah, S.Ag
2. Rismawati, S. Pd SD
3. Yustiniar, S.Pd SD
4. Hervina M. Naibaho, S.Pd
5. Efi Rimayanti, S.Pd SD
Seksi Perlengkapan : Semua guru dan pegawai
Ditetapkan di : Manggar
Pada tanggal ; 11 Oktober 2013
Kepala Sekolah
ttd
Bahya, S.Pd SD
NIP: 19611007 198202 2 005
SEJARAH QURBAN
Oleh: Sadi Suharto, S.Ag
Kurban wajib bagi orang yang mampu atau berkecukupan tapi bila tidak
melaksanakan kurban, Nabi Muhammad SAW mengingatkan : “Barang siapa yang sudah
mampu dan mempunyai kesanggupan tapi tidak berkurban, maka dia jangan dekat-dekat
kemushallahku.” Hadis tersebut merupakan sindiran bagi orang-orang yang mampu
dan banyak harta tapi tidak mau berkurban.
Sejarah
qurban itu dibagi menjadi tiga, yaitu : zaman Nabi Adam As; zaman Nabi Ibrahim
As; dan pada zaman Nabi Muhammad SAW.
- Pada zaman Nabi Adam As. Qurban dilaksanakan oleh putra-putranya yaitu bernama Qabil dan Habil. Kekayaan yang dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok peternak. Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk qurban. Sebagai petani si Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil pertaniannya dan sebagai peternak si Habil mengeluarkan hewan-hewan peliharaanya untuk kurban, untuk siapa semua itu diqurbankan, padahal waktu itu manusia belum banyak. Diterangkan dalam sejarah, harta yang diqurbankan itu disimpan di suatu tempat yaitu di Padang Arafah yang sekarang menjadi napak tilas bagi para jemaah haji. Baik buah-buahan yang diqurbankan si Qabil maupun hewan ternak yang diqurbankan si Habil, dari kedua orang tersebut mempunyai sifat berbeda. Si Habil mengeluarkan hewan diqurbankan dengan tulus ikhlas. Dipilih hewan yang gemuk dan sehat, dan dia taat terhadap petunjuk ayahnya Nabi Adam.Berbeda dengan si Qabil, Dia memilih buah-buahan yang jelek-jelek dan sudah afkiran. Ketika keduanya melaksanakan qurban, ternyata yang habis adalah qurban yang dikeluarkan oleh si Habil sementara buah-buahan yang dikeluarkan si Qabil tetap utuh, tidak berkurang. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27 : “Ceritakan kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari meraka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), Ia berkata : “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil ” Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa”. Kurban si Habil di terima Allah SWT karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan dikeluarkan dengan tulus dan ikhlas. Sementara si Qabil mengeluarkan sebagian harta yang jelek-jelek dan terpaksa. Oleh karena kurban tidak diterima Allah. Akhirnya si Qabil menaruh dendam kepada si Habil. Berawal dari perebutan calon istrinya, dimana peraturan waktu itu dengan sistem silang.
- Pada zaman Nabi Ibrahim As. Dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Ash-Shafaat ayat 100-111 yang menceritakan mengenai qurban dan pengorbanan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun beliau belum juga dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selalu berdoa: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang saleh” (Q.S>37:100) Kemudian dari istrinya yang kedua yakni Siti Hajar yang dinikahinya ketika Nabi Ibrahim mengadakan silaturahmi ke Mesir (setiap kedatangan pembesar diberi hadiah seorang istri yang cantik oleh pembesar Mesir).Dari Siti Hajar lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Islam, ia lahir di tengah-tengah padang pasir yang disebut. Bahkan kemudian dikenal dengan Mekkah. Pada saat Nabi Ibrahim diberi petunjuk oleh Allah, agar meninggalkan istrinya Siti Hajar dengan seorang putranya yang dari lahir dan ia disuruh menemui istrinya yang pertamanya yakni Siti Sarah yang berada di Yerussalem kota tempat Masjidil Agsho. Beliau meninggalkan beberapa potong roti dan sebuah guci besiris air untuk Siti Hajar dan Ismail. Pada waktu Siti Hajar kehabisan makanan dan air, ia melihat disebelah timur ada air yang ternyata adalah fatamorgana yaitu di Bukit Sofa. Di situ Ismail ditinggalkan dan Siti Hajar naik Kebukit Marwah serta kembali ke Sofa sampai berulang tujuh kali, tapi tidak juga mendapatkan air sampai ai kembali ke Bukit Marwah yang terakhir. Ia merasa khawatir terhadap anaknya barangkali Ismail kehausan dilihat kaki Ismail bergerak-gerak diatas tanah dan tiba-tiba keluar air dari dalam tanah. Siti Hajar berlari kebawah sambil berteriak kegirangan :”zami-zami?” itulah kemudian menjadi sumur Zam-Zam itulah kemudian menjadi sumur Zam-zam. Di situlah Siti Hajar dan Nabi Ismail di padang pasir yang kering kerontang yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim dan ditempat itulah Allah SWT. Menetapkan sebagai tempat ibadah haji. Allah SWT, berfirman dalam surat Al-Hajj : 27 : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Haji, niscaya akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai onta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”. Memang sudah disiapkan oleh Allah, disana tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada gunung berapi yang menyebabkan ada sumber kehidupan tapi atas kehendak Allah maka jadilah sumur “Zam-zam”.”Nabi Ismail ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim yang berada di Yerusalem sampai Nabi Ismail menjelang remaja. Kemudian di Yerusalem ternyata Siti Sarah hamil yang melahirkan seorang putra yang diberi nama Iskhak. Nabi Ibrahim diperintahkan lagi oleh Allah untuk kembali ke Mekkah untuk menengok istri dan anaknya yang pertama yaitu Nabi Ismail, yang rupanya sudah mulai besar. Dalam suatu riwayat kira-kira berusia 6-7 tahun. Sejak dilahirkan sampai besar itu Nabi Ismail menjadi kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash Shaffaat : 102 : “Maka tatkala sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata : Hai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pemdapatmu ” Ia menjawab: “hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Asbabun Nujul atau latar belakang sejarahnya ketika nabi Ibrahim bermimpi (ruyal Haq). Dalam impiannya ia mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail dan sampai di Mina beliau menginap, beliau mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah malamnya di Mina, masih bermimpi yang sama juga. Betapa ujian Berat kepada Nabi Ibrahim as. Supaya menyembelih putra kesayangannya. Itulah yang dijelaskan dalam surat Ash-Shaffaat ayat 102. Setelah terjadi dialog dengan putranya. Ibrahim mengajak putranya Nabi Ismail, kira-kira antara ratusan meter dari tempat tinggalnya (Minah), baru lebih kurang 70-80 meter berjalan, setan menggoda istrinya Siti Hajar: “Ya Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail yang sedang tumbuh dan menggemaskan itu?”. Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: “Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau dikemanakan anakku?” Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT, ditempat itulah dimana pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah bagi jemaah haji disuruh melempar batu dengan membaca : Bismillahi Allahu Akbar. Hal tersebut mengandung arti bahwa kita melempar setan atau sifat-sifat setan yang ada di dalam diri kita. Akhirnya tibalah mereka di Jabal Qurban kira-kira 200 meter dari tempat tinggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat ASH-Shaffaat ayat 103-107: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar “.
- Pada zaman Nabi Muhammad SAW. Masalah kurban diceritakan kembali yaitu di dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3 “Se-sungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tiadalah dapat kamu mengitungnya” (QS:Ibrahim: 34). Oleh karena itu berkaitan dengan ibadah kurban yang sudah ada sejak Nabi Adam, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw. Allah berfirman: “Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”, Sholat merupakan hubungan vertikal dengan Allah untuk mensyukuri nikmat Allah. Hubungan antara sesama manusia secara horisontal diwujudkan bahwa setelah shalat Idul Adha yaitu dengan berkurban memotong hewan ternak berupa kambing atau sapi untuk dibagikan kepada fakir miskin. Kita biasanya serius ketika beribadah langsung dengan Allah tapi kadang-kadang ibadah sesama manusia seringkali kurang serius. Allah SWT mengingatkan dalam surat Al-MaaHuun ayat 1-7 : “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim.Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan ) barang berguna”. Qurban ini merupakan masalah ubudiyah yang bersifat sosial yang berhubungan dengan sesama manusia dengan cara mengorbankan sebagian harta.
Daging kurban siap untuk dibagikan |
Maka qurban
secara lughatan bahasa dengan berdasarkan pada surat Al-Maidah ayat 27 “Qurban”
berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT, untuk mendapatkan ridho serta
mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT (surat Al-Kaustar) dengan memotong
hewan kurban, adalah untuk mendeka
tkan diri
kepada Allah SWT. Memotong hewan kurban; unta, sapi, kerbau, dan kambing,
dengan tujuan taqwa kepada Allah. Ditegaskan dalam surat Al-Hajj : 37 :
“daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridlaan) Allah tapi ketaqwaan dari pada kamulah yang dapat mencapainya”.
Waktu
berkurban dimulai sejak tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah. Masa memotong
qurban pada tanggal 10 disebut “Yaumul nahar”yaitu hari untuk menyembelih
kurban. Sedangkan tanggal 11, 12, 13 dinamakan “yaumul tsyriq” Di luar waktu
tersebut bila kita memotong hewan dinamakan sedekah. Maka kalu niatnya
berkurban harus dilakukan padan waktu-waktu tersebut, yakni pada tanggal
10,11,12, dan 13 Dzulhijjah.
QURBAN
Qurban atau Kurban (bahasa Arab قربن), atau disebut juga Udhhiyah atau
Dhahiyyah secara harfiah berarti hewan sembelihan. Sedangkan ritual Qurban
adalah salah satu ritual ibadah pemeluk agama Islam, dimana dilakukan
penyembelihan binatang ternak untuk dipersembahkan kepada Allah. Ritual kurban
dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada penanggalan Islam, yakni pada tanggal 10
(hari nahar) dan 11,12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul
Adha
Latar belakang historis
Dalam sejarah sebagaimana yang disampaikan dalam Al Qur'an terdapat dua peristiwa
dilakukannya ritual Qurban yakni oleh Habil (Abel) dan Qabil (Cain), putra Nabi
Adam alaihis salam, serta pada saat Nabi Ibrahim akan mengorbankan Nabi Ismail
atas perintah Allah.
Habil dan Qabil
Pada surat Al Maaidah ayat 27 disebutkan:
Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut
yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain
(Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang
bertakwa".
Ibrahim dan Ismail
Disebutkan dalam Al Qur'an, Allah memberi perintah melalui mimpi kepada Nabi
Ibrahim untuk mempersembahkan Ismail. Diceritakan dalam Al Qur'an bahwa Ibrahim
dan Ismail mematuhi perintah tersebut dan tepat saat Ismail akan disembelih,
Allah menggantinya dengan domba. Berikut petikan surat Ash Shaaffaat ayat
102-107 yang menceritakan hal tersebut.
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah
Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
Dalil tentang berkurban
Ayat dalam Al Qur'an tentang ritual kurban antara lain :
• surat Al Kautsar ayat 2: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkurbanlah (anhar)
Sementara hadits yang berkaitan dengan kurban antara lain:
• “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban,
maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” HR. Ahmad dan ibn Majah.
• Hadits Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW,
apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian,
Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan
qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu
kebaikan.” Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?” Rasulullah menjawab: “Setiap
satu helai bulunya juga satu kebaikan.” HR. Ahmad dan ibn Majah
• “Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang
ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” HR.
Muslim
• “Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang,
satu sapi untuk tujuh orang. “ HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi.
Hukum kurban
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha
(ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah (utama), dan
tidak ada seorangpun yang menyatakan wajib, kecuali Abu Hanifah (tabi’in). Ibnu
Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa
qurban itu wajib.
Syarat dan pembagian daging kurban
Syarat dan ketentuan pembagian daging kurban adalah sebagai berikut :
• Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara
halal tanpa berutang.
• Kurban harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.
• Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak
pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh.
• Hewan kurban telah cukup umur, yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi
atau kerbau telah berumur 2 tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1
tahun.
• Orang yang melakukan kurban hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan
berakal.
• Daging hewan kurban dibagi tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3
disedekahkan, dan 1/3 bagian dihadiahkan kepada orang lain.
Waktu berkurban
• Awal waktu
Waktu untuk menyembelih kurban (qurban) bisa di 'awal waktu' yaitu setelah
shalat Ied langsung dan tidak menunggu hingga selesai khutbah. Bila di sebuah
tempat tidak terdapat pelaksanaan shalat Ied, maka waktunya diperkirakan dengan
ukuran shalat Ied. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum waktunya maka tidak
sah dan wajib menggantinya .
Dalilnya adalah hadits-hadits berikut: a. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا
فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ
مَكَانَهَا أُخْرَى “Barangsiapa yang shalat seperti shalat
kami dan menyembelih hewan qurban seperti kami, maka telah benar qurbannya. Dan
barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka hendaklah dia menggantinya
dengan yang lain.” (HR. Al-Bukhari no. 5563 dan Muslim no. 1553) Hadits senada
juga datang dari sahabat Jundub bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu
riwayat Al-Bukhari (no. 5500) dan Muslim (no. 1552).
b. Hadits Al-Bara` riwayat Al-Bukhari (no. 5556) dan yang lainnya tentang kisah
Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu yang menyembelih sebelum shalat. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: شَاتُكَ شَاةُ
لَحْمٍ “Kambingmu adalah kambing untuk (diambil) dagingnya saja.” Dalam
lafadz lain (no. 5560) disebutkan: وَمَنْ نَحَرَ
فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ يُقَدِّمُهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang menyembelih (sebelum shalat), maka itu hanyalah daging yang
dia persembahkan untuk keluarganya, bukan termasuk hewan qurban sedikitpun.”
• Akhir waktu
Waktu penyembelihan hewan qurban adalah 4 hari, hari Iedul Adha dan tiga hari
sesudahnya. Waktu penyembelihannya berakhir dengan tenggelamnya matahari di
hari keempat yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Ini adalah pendapat ‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu, Al-Hasan Al-Bashri imam penduduk Bashrah, ‘Atha` bin
Abi Rabah imam penduduk Makkah, Al-Auza’i imam penduduk Syam, Asy-Syafi’i imam
fuqaha ahli hadits rahimahumullah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Mundzir, Ibnul
Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/319), Ibnu Taimiyah, Al-Lajnah Ad-Da`imah (11/406,
no. fatwa 8790), dan Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (3/411-412).
Alasannya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu sebagai berikut: 1.
Hari-hari tersebut adalah hari-hari Mina. 2. Hari-hari tersebut adalah
hari-hari tasyriq. 3. Hari-hari tersebut adalah hari-hari melempar jumrah. 4.
Hari-hari tersebut adalah hari-hari yang diharamkan puasa padanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أَيَّامُ
التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ تَعَالَى
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala.” Adapun hadits Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: كَانَ الْمُسْلِمُوْنَ يَشْرِي
أَحَدُهُمُ اْلأُضْحِيَّةَ فَيُسَمِّنُهَا فَيَذْبَحُهَا بَعْدَ اْلأضْحَى آخِرَ
ذِي الْحِجَّةِ “Dahulu kaum muslimin, salah seorang mereka membeli hewan qurban
lalu dia gemukkan kemudian dia sembelih setelah Iedul Adha di akhir bulan
Dzulhijjah.” (HR. Al-Baihaqi, 9/298) Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengingkari
hadits ini dan berkata: “Hadits ini aneh.” Demikian yang dinukil oleh Ibnu
Qudamah dalam Syarhul Kabir (5/193). Wallahu a’lam.
• Menyembelih di waktu siang atau malam?
Tidak ada khilafiah di kalangan ulama tentang kebolehan menyembelih qurban di
waktu pagi, siang, atau sore, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj:
28)
Mereka hanya berbeda pendapat tentang menyembelih qurban di malam hari. Yang
rajih adalah diperbolehkan, karena tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini
adalah tarjih Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ (3/413) dan
fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (11/395, no. fatwa 9525). Yang dimakruhkan adalah
tindakan-tindakan yang mengurangi sisi keafdhalannya, seperti kurang
terkoordinir pembagian dagingnya, dagingnya kurang segar, atau tidak dibagikan
sama sekali. Adapun penyembelihannya tidak mengapa. Adapun ayat di atas (yang
hanya menyebut hari-hari dan tidak menyebutkan malam), tidaklah menunjukkan
persyaratan, namun hanya menunjukkan keafdhalan saja. Adapun hadits yang
diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
dengan lafadz: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنِ الذَبْحِ بِاللَّيْلِ “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menyembelih di malam hari.” Al-Haitsami rahimahullahu dalam Al-Majma’
(4/23) menyatakan: “Pada sanadnya ada Salman bin Abi Salamah Al-Janabizi, dia
matruk.” Sehingga hadits ini dha’if jiddan (lemah sekali). Wallahu a’lam.
(lihat Asy-Syarhul Kabir, 5/194)
Fiqih Qurban
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu
dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam
mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan
menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat
ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul
Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu
fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya
Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari
Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya
tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah
radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul
Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka
hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al
Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun
kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban.
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha
lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan
sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu,
menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan
sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian
adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam
salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam
Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak
lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara
dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta)
namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat
kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah
pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain.
Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al
Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak
akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan
karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib
bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula
dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka
berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu
Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan
bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul
Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing
pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama
kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan
menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan
tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya
qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang
satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang
kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan
hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak
tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan
sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak
sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan
Al Wajiz 406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat
Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki
yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).”
(QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada
orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis
ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk
berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya
hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’,
III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh
anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal
dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada
masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor
kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah
satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing
2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu
dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan
seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum
menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku
yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin
Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban,
mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh
orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing
hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal
tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan
biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status
qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban.
Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan
memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10
orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah
bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari
raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor
onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”
(Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban
kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup
seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk
qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk
berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana
dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan
agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka
menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang
untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta
qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada
unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada
berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net
di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no.
7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang
maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul
Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi
qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang,
dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau
melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih
jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih.
Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena
perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang
berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami
untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang
yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk
mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang
kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan
demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya
panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah
satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya
disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada
beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari
kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al
‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya
satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing
dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi
tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat
Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika
tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan
yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal
orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas
maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis
dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha
tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa.
Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan
untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa
dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki
aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan
ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di
antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka,
biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang.
Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai
sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga
bentuk:
• Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya
mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban
untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah
meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya
dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
• Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari
mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik
dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit
(lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’
bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat
tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat
bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau
lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan
agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit
untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit.
(Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah
Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah.
Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba
jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No. Hewan Umur minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba/ kambing gembel 6 bulan
(domba Jadza’ah)
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul
Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
• Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang
yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut
satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang
rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh
digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
• Sakit dan tampak sekali sakitnya.
• Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan
normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik
maka boleh dijadikan hewan qurban.
• Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka
lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373
& Syarhul Mumti’ 3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
• Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
• Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban)
namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka
tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong),
tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang
harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau
berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan
Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat
tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis
cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat
sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang
memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if,
sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan
makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.”
(QS. Al Hajj: 32). Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan
bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar
dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa
memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin
ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara
mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al
Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama
adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya
pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah
jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar
radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak
yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari
dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan
sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor
sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 &
Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
• Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh
satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
• Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan
keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang
dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al
Muhadzab 1/74)
• Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya
adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah
11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak
belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina.
Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu
kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An
Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz
Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika
aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.”
(Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan
betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya
(yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah
memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian
ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan
kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk
bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau
sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan
maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga
untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan
tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
• Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau
berqurban.
• Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan
keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota
keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya
(hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari
taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam
sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan
di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para
ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum
terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya
dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang
menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya
kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat
‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan
untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum
muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang
baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR.
Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di
rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri
namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan:
“Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam
masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan
tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
• Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
• Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut
datang menyaksikan penyembelihannya.
• Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
• Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke
kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
• Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar”
ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan
Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan
menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar –
para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah
sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
o hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
o hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).”
atau
o Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni
atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban
Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul
qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
• Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan
shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan
bid’ah.
• Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang
membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga
sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
• Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul
qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah
berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
• Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
• Dihadiahkan kepada orang yang kaya
• Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya
dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia
menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa
walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan,
“Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka
beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan
kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat
sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian
membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas
ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan
wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan
semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak
menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain
(Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada
orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada
orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka
(orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya
memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya
qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’
(Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada
kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang
wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan
daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik
karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam
rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban
kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah
merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk
pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al
Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’
binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta
padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan
karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan
memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang
melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum
muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri
islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang
memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah
kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging,
kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga
memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya.
Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini,
sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah
qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al
Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas
ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang
sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
• Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau
kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing.
Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
• Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi
yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit
dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana
perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping
transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan
qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di
atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
• Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai
keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah
menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit
sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul
qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan
agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa
daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada
jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya
beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini
merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging
atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan
kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk
hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia
adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan
pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban
sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri:
“Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal
diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.”
(Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban
diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang
lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang
memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah
Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil
dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai
wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban
sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan
bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu
langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi.
Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah
uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan
dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI
MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula
qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak
boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika
menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah
khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak
diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil
dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’.
Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban
sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil
zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut
amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya
sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu
‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada
riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita,
mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal
dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk
melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas
cepat ini menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin…
sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak
Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban
kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun
jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula
terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku
ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang
bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi
thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah
kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at.
Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa
dilakukan beberapa solusi berikut:
• Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang
miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup
hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah
menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah
sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari
shohibul qurban dalam menjual kulit.
• Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya
panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan
menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar
daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan
hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban.
Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk
disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang
untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul
qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk
tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat
membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada
tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama
menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya.
Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar
adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843
& Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan
bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
• Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak
pernah mengajarkannya
• Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
• Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan
memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish
Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit
Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan
saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang
diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil
‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه
الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟
قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك
بشيء.
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh
yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat
bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh
Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari
pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah
(Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair
(Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau
sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu
melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka
baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107),
As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Kepala Sekolah menyampaikan kata sambutan |
Dimulainya penyembelihan hewan kurban |
Para siswa menyaksikan hewan kurban |
Dengan sigap tim penyembelih hewan kurban |
Para Guru berfhoto bersama (dari kiri Sadi Suharto, Susti, Siti Rokayah, Efita Rostina, Vina Naibaho, Rosanah dan Ida Nurtiyah) |
Guru sedang sibuk menimbang dan membungkuskan daging kurban |
Daging kurban mulai ditimbang dan dibungkus yang selanjutnya akan dibagikan kepada yang berhak menerimanya |
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul
Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman
hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka,
Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar